LAMSEL, PUBLICJOURNALNEWS.COM –
Sebuah adagium kuno dari zaman Romawi terus bergema di ruang-ruang pengadilan, parlemen, dan dalam teks-teks filsafat politik hingga hari ini yakni kata Salus Populi Suprema Lex Esto.
Kali ini, akan kita bahas bersama Narasumber yang terkenal dengan julukan Pengacara Masyarakat berasal dari Lampung, tepatnya di Kabupaten Lampung Selatan (Lamsel) yang bertajuk Sai Bumi Khagom Mufakat, Muhammad Ridwan, S.H,.
Sebelum mengulik lebih jauh, perlu kita ketahui Salus Populi Suprema Lex Esto jika diterjemahkan, yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, adalah sebuah diktum dasar politik hukum negara yang pertama kali dikemukakan oleh Marcus Tullius Cicero (106–43 SM). Diktum ini dikemukakan oleh Cicero dalam bukunya yang berjudul De Legibus (Tentang Hukum).

Pengacara Masyarakat, Muhammad Ridwan, S.H, mengutarakan secara harfiah, frasa berarti, kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi. Jauh dari sekadar slogan, prinsip ini merupakan fondasi bagi konsep negara hukum modern.
“Prinsip ini pertama kali dicetuskan secara formal oleh filsuf dan negarawan Romawi, Marcus Tullius Cicero, dalam karyanya De Legibus (Tentang Hukum). Dalam konteks Republik Romawi, gagasan ini bersifat revolusioner.” Ucap Bang Ridwan sapaan familiar nya.
Selain itu juga, dalam politik modern, menekankan sopan santun sering menjadi bentuk kemunafikan terselubung. Kesopanan dijadikan topeng untuk menutupi kekuasaan yang sewenang-wenang, menyembunyikan praktik korupsi, atau menahan kritik rakyat. Fenomena ini lebih menyerupai negara feodal daripada demokrasi.
“Feodalisme ditandai oleh hierarki kekuasaan yang kaku, dimana rakyat harus tunduk dan hormat pada penguasa tanpa mempertanyakan keputusan yang merugikan mereka. Kesopanan di sini bukan nilai etis, tetapi alat legitimasi penguasa untuk menundukkan rakyat.” Terangnya sembari obrol santai diruangan kerjanya, pada Kamis (4/9/2025).

Dalam demokrasi sejati, rakyat memiliki hak untuk mengkritik, memprotes, dan menuntut akuntabilitas. Kesopanan tidak boleh dijadikan penghalang untuk menyuarakan kebenaran dan kepentingan publik.
“Disinilah filosofi ‘Populi Suprema Lex Esto’ menjadi relevan, kehendak rakyat adalah hukum tertinggi, dan semua kekuasaan harus tunduk pada kepentingan rakyat, bukan sebaliknya.” Terangnya, yang juga menduduki Ketua Umum Lembaga Bantuan Hukum Ikatan Konsultan dan Advokasi Masyarakat (LBH-IKAM) Lamsel ini.
Pengacara yang sudah melanglang buana mendampingi klien-klien di ‘Lampung Tapis Berseri’, ini juga menegaskan, adanya Batas Toleransi yang menghormati jabatan, tetapi menolak penyalahgunaan kekuasaan.
“Batas Kritik dan Protes, Hukum dan Ketertiban, yang dapat kita artikan adalah protes sesuai aturan, tidak merusak fasilitas publik. Fokus pada Kebijakan, Bukan Pribadi, kritik diarahkan pada kebijakan atau tindakan pejabat, bukan serangan personal.” Tuturnya diselingi dengan seruputan segelas kopi penghangat badan.

Tak sampai disitu, Pengacara muda yang kini juga mengetuai LBH MH2 & Partners mengatakan, didalam hukum harus dengan Proporsional dan Rasional, yakni menggunakan data, fakta, dan argumentasi logis.
“Semua warga berhak bersuara melalui media resmi, audiensi publik, atau demonstrasi damai. Dengan prinsip Populi Suprema Lex Esto, semua kebijakan, keputusan, dan tindakan pejabat harus berbasis pada kepentingan rakyat. Jika penguasa menyalahgunakan kekuasaan, rakyat tidak hanya berhak mengkritik, tetapi wajib menegakkan kehendak publik sebagai hukum tertinggi.” Paparnya kepada jurnalis publicjournalnews.com -.
“Dengan demikian, sopan santun yang dipaksakan tanpa ruang kritik menjadikan negara feodal modern, sedangkan demokrasi yang sehat menempatkan rakyat sebagai pengawal hukum tertinggi, memastikan kekuasaan selalu berada dalam pengawasan.” Tandasnya seraya mengakhiri perbincangan. (Red)
